Total Tayangan Halaman

Minggu, 08 Mei 2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Karakteristik khusus dari Islam bahwa setiap ada perintah yang harus dikerjakan umatnya pasti telah ditentukan syari’atnya (tata cara dan petunjuk pelaksanaannya), dan hikmah yang dikandung dari perintah tersebut. Maka tidak ada satu perintah pun dalam berbagai aspek kehidupan ini, baik yang menyangkut ibadah secara khusus seperti perintah shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Maupun yang terkait dengan ibadah secara umum seperti perintah mengeluarkan infaq, berbakti pada orang tua, berbuat baik kepada tetangga dan lain-lain yang tidak memiliki syari’at, dan hikmahnya.
Begitu pula halnya dengan menikah. Ia merupakan perintah Allah SWT untuk seluruh hamba-Nya tanpa kecuali dan telah menjadi sunnah Rasul-Nya, maka sudah tentu ada syaria’atnya, dan hikmahnya.
Untuk itu pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengapa seorang muslim dan muslimin harus melaksanakan pernikahan di dalam hidupnya.

B. Pembatasan Masalah
Dari latar belakang diatas, kami membatasi permasalahan pada pengertian nikah, macam-macam nikah yang diharamkan, tujuan nikah, dan hikmah nikah.


C. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah diatas, terdapat rumusan-rumusan masalah, yaitu :
a. Apa pengertian dari kata nikah ?
b. Bagaimana hikmah dari nikah ?
c. Apa saja nikah yang diharamkan oleh agama ?

D. Tujuan Penulisan
Dari berbagai kegiatan yang dilakukan yang terpenting adalah tujuan yang ingin dicapai. Demikian pula dengan makalah ini yang memiliki tujuan :
a. Mengetahui arti nikah dari berbagai pendapat.
b. Mengetahui hikmah nikah.
c. Mengetahui nikah-nikah yang diharamkan oleh agama.

E. Kegunaan Penulisan
Memberikan pemahaman mengenai pengertian nikah baik secara bahasa ataupun istilah, bahkan berdasarkan golongan dan pendapat yang lainnya. Juga memberikan pemahaman mengenai hikmah dari perintah nikah, sehingga kita mempunyai mempunyai bekal informasi untuk menghadapi kehidupan yang akan datang meskipun tidak banyak. Karena bagaimanapun kita pasti akan dihadapkan dengan pilahan hidup untuk menikah.


F. Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Bab ini berisikan pembahasan-pembahasan.
BAB III PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Nikah menurut etimologi yaitu mengumpulkan, sedangkan menurut terminologi yaitu akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukunnya serta syarat (yang telah ditentukan) untuk berkumpul. Adapun menurut Abdurrahman Al-Jariji dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Ala Mazahibil Arba’ah menyebutkan ada 3 macam makna nikah, yaitu :
1. Makna Lughawi
Menurut bahasa nikah adalah :
وهو الوط ء والضم
“bersenggama atau bercampur”
2. Makna Ushuli (makna Syar’i)
Ada perbedaan pendapat tentang makna ushuli. Pendapat pertama menyatakan bahwa nikah arti hakikatnya adalah watha’ (bersenggama). Bila kita menemukan kalimat nikah dalam Al-Qur’an dan hadits itu berarti watha’ atau bersenggama. Pengertian ini dapat dijumpai dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 22, yang artinya : “janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayah-ayahmu (walaupun bukan ibumu) melainkan apa yang terjadi (di masa Jahiliyah). Sesungguhnya menikahi isteri ayah adalah satu fahisyah (keburukan) dan sangat dibenci dan seburuk-buruk jalan.”
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 230 yang artinya : “kemudian jika dia menthalaq isterinya sekali lagi (sesudah dithalaq kali yang kedua itu) maka tidak halal wanita itu baginya, sebelum si wanita itu nikah dengan suami yang selainnya. Jika suami (yang kedua) menthalawnya, maka tak ada dosa atas keduanya (suami pertama dan bekas isterinya itu), untuk ruju’-meruju;i. Jika keduanya menyangkat kuat akan dapat menegakkan had-had Allah (hukum-hukum Allah), itulah hukum-hukum Allah, Allah menerangkan hukum-hukumNya kepada kaum yang mempunyai kemampuan untuk mengetahuinya.”
Pendapat kedua mengatakan bahwa makna hakikat dari nikah adalah akad, sedangkan arti majaznya adalah watha’. Pengertian ini adalah kebalikan dari pengertian menurut makna lughawi.
Pedapat ketiga mengatakan bahwa makna hakikat dari nikah adalah musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’.
3. Makna Fiqih (menurut ahli fiqih)
Para ulama ahli fiqih juga berbeda pendapat tentang makna nikah ini. Pertama, berdasarkan para imam madzhab, pengertian nikah adalah sebagai berikut :
a. Golongan Hanafiyah, mendefinisikan nikah segabai :
النكاح بانه عقد يفيد ملك المتعة قصدا
“nikah itu adalah akad yang memfaedahkan memiliki, bersenang-senang dengan sengaja.”

b. Golongan Asy-Syafi’iyah, mendefinisikan nikah sebagai :
النكاح بانه عقد يتضمن ملك وطء بلفظ انكاح اوتزويح او معنا هما
“nikah adalah akad yang mengandung ketetuan hukum kebolehan watha’ dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya”
c. Golongan Malikiyah, mendefinisikan nikah sebagai :
النكاح بانه عقد على مجرد متعة التلذ ذ باد مية غير موجب قيمتها ببينة
“nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh menikah dengannya”
d. Golongan Hanabillah, mendefinisikan nikah sebagai :
هو عقد بلفظ انكاح اوتزويج على منفعة الائستماع
“nikah adalah akad dengan memperginakan lafaz nikah atau tazwij guna membolehkan manfaat, besenang-senang dengan wanita”
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa para ulaman pada zaman dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh nikah tersebut terhadap hak dan kewajiban suami interi yang timbul.
Adapun nikah menurut pandangan umum yang tertera dalam Undang-Udang perkawinan No. 1 Tahun 1974 memberikan definisi tentang perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.(Pasal 1)
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (Pasal 2 ayat 1)
Dalam penjelasan undang-undang No.1 tahun 1974 ini, dijelaskan bahwa sebagian negara yang berdasarkan pancasila diman sila yang pertamanya ialah ; Ketuhanan yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kepercayaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia, rapat hubungan dengan keturunan yang juga merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Menurut hukum islam nikah atatu pernikahan adalah ikatan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan. Di dalam Al-Qur’an Allah mengatakan bahwa perkawinan adalah salah satu sunatullah, hidup berpasang-pasangan, hidup berodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk termasuk manusia. Oleh karena itu semua makhluk Tuhan baik hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia dalam kehidupannya ada perkawinan.
Sedangkan menurut kami pengertian dari kata nikah النكاح. Yaitu pertama huruf ن(nun) yaitu Niat, niat ini akan menimbulkan hukum bagi seorang mukalaf (pelaku). Jika ia sudah berniat untuk menikah dan memiliki kemampuan serta sudah tidak bisa menahan dorongan biologisnya, maka hukum yang mengenainya yaitu wajib. Jika ia berniat menikah hanya untuk menyakiti wanita yang akan menjadi insterinya itu dan ia tidak memiliki kemampuan untuk menafkahinya, maka hukum yang mengenainya yaitu haram. Dan jika ia tidak memiliki niat tetapi memiliki dorongan biologis yang kuat, maka hukum yang mengenainya yaitu makruh.
Kedua hurufك (kaf) yaitu kaifiah nikah atau tata cara nikah. Karena kita sebagai umat islam maka tata cara dalam melaksanakan nikah pun harus sesuai ajaran Agama Islam. Lantas seperti apakah menikah ala islam itu ?. Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai mahar dan penyelenggaraan resepsi (walimah). Bukan karena yang lain tidak penting, tetapi mengingat dalam dua hal inilah kebanyakan masyarakat muslim kurang tepat dalam persepsi dan pemahamannya.
a. Tentang Mahar
Mahar merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Dalam praktiknya tidak ada batasan khusus mengenai besarnya mahar dalam pernikahan. Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qoyyim dalam kitabnya Zaadul Maad, memberi mahar untuk istri-istrinya sebanyak 12 uqiyah. Abu Salamah menceritakan, “Aku pernah bertanya kepada A’isyah ra, “Berapakah mahar Nabi SAW untuk para istrinya?” A’isyah menjawab, “Mahar beliau untuk para istrinya adalah sebanyak 12 uqiyah dan satu nasy.” Lalu A’isyah bertanya, “Tahukah kamu, berapa satu uqiyah itu?” Aku menjawab, “tidak” A’isyah menjawab, “empat puluh dirham.” A’isyah bertanya, “Tahukah kamu, berapa satu nasy itu?” Aku menjawab, “tidak”. A’isyah menjawab, “Dua puluh dirham”. (HR. Muslim).
Umar bin Khattab berkata, “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah SAW menikahi seorang pun dari istrinya dengan mahar kurang dari 12 uqiyah.” (HR. Tirmidzi).
Bahkan ketika seorang laki-laki tidak memiliki sesuatu berupa harta yang dapat diberikan sebagai mahar, Rasulullah SAW tidak menolak untuk menikahkannya dengan mahar beberapa surat dalam Al-Qur’an yang dihafalnya. Dikisahkan ada seorang laki-laki yang meminta dinikahkan oleh Rasulullah, tetapi ia tidak memiliki sesuatu pun sebagai mahar, walaupun sebuah cincin dari besi. Kemudian beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau menghafal Al-Qur’an?” Ia menjawab, “Ya, aku hafal surat ini dan surat itu (ia menyebut beberapa surat dalam Al-Qur’an). “Maka beliau bersabda, “Aku menikahkan engkau dengannya dengan mahar surat Al-Qur’an yang engkau hafal itu!”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan tentang bentuk dan besarnya mahar, tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami.
b. Tentang Walimah (Resepsi Pernikahan)
Walimah merupakan sunnah, diadakan dengan tujuan agar masyarakat mengetahui pernikahan yang berlangsung sehingga tidak terjadi fitnah di kemudian hari terhadap dua orang yang menikah tersebut. Sedangkan mengenai tata cara penyelenggaraannya, syariat memberikan petunjuk sebagai berikut:
Khutbah sebelum akad
Disunnahkan ada khutbah sebelum akad nikah yang berisi nasihat untuk calon pengantin agar menjalani hidup berumah tangga sesuai tuntunan agama.


Menyajikan hiburan
Walimah merupakan acara gembira, karena itu diperbolehkan menyajikan hiburan yang tidak menyimpang dari etika, sopan santun dan adab Islami.
Jamuan resepsi (walimah)
Disunnahkan menjamu tamu yang hadir walaupun dengan makanan yang sederhana. (Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi SAW telah mengadakan walimah untuk Shofiyah istrinya dengan kurma, keju, susu, roti kering dan mentega).
Diriwayat lain, Rasulullah SAW bersabda kepada Abdurrahman bin Auf, “Adakanlah walimah meski hanya dengan seekor kambing.” Sedangkan mengenai batasan mengadakan walimah As-Syaukani dalam Nailul Authar menyebutkan bahwa Al Qadhi Iyadh telah mengemukakan bahwa para ulama sepakat tidak ada batasan khusus untuk walimah, meski diadakan dengan yang paling sederhana sekalipun diperbolehkan. Yang disunnahkan adalah bahwa acara itu diadakan sesuai dengan kemampuan suami.
Yang ketiga hurufح (ha) yaitu hikmah nikah. Seperti yang telah tertera pada pembahasan sebelumnya bahwa setiap hal yang Allah SWT perintahkan kepada umatNya pasti terkandung hikmah yang dapat dipetik dan memberikan ganbaran agar kita selalu ingat dan bersyukur kepadaNya.

B. Hikmah Nikah
Hikmah dari nikah, diantaranya :
1. Untuk ibadah
2. Menjaga keturunan
3. Mengeluarkan air yang mengakibatkan kemadorotan
4. Untuk mendapatkan kelezatan
Juga untuk membina dan membentuk terwujudnya hubungan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dalam kehidupan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan syari’at agama. Cara pernikahan juga bertujuan agar manusia dapat berketurunan dan dapat melestarikankehidupannya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dan mewujudkan tujuan perkawinan.
Allah tidak ingin menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarkhi dan tidak ada aturan yang mengaturnya. Untuk itu allah memerintahkan untuk menikah agar martabat kemuliaan manusia bisa terjaga dan membedakan manusia denga hewan.
Sebagian orang ada yang ragu-ragu untuk menikah karena sangat takut memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesuitan-kesuliatan. Hal ini adalah keliru dan salah karena Allah menjamin bahwa dengan nikah akan memberikan kepada yang bersangkutan jalan kecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitan dan memberikan kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan.
Sabda Nabi SAW yang artinya : “Wahai sekalian pemuda, apabila kamu sudah mempunyai bekal maka kawinlah, sesungguhnya (kawin) bisa memejamkan mata, dan memelihara kemaluan. Siapa yang belum sanggup (mempunyai bekal) maka puasalah, sebagai benteng (peisai). (H.R Jama’ah)
Jelas sekali dalam kutipan hadits diatas bahwasannya dengan menikah kita bisa lebih menjaga mata kita dan memlihara kemaluan kita. Mengapa demikian? Karena bisikan syetan itu terasa sangat halus, sehingga dikhawatirkan manusia lupa dan terjebak dalam bisikan syetan tersebut.
Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 32 yang artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah suatu kejahatan dan dialah seburuk-buruknya jalan”. Dikatakan bahwa untuk terhindar dari melampiaskan syahwat atau zina manusia dianjurkan oleh Allah SWT untuk melakukan pernikahan.
AlQur’an surat Ar-Rum ayat 21 yang artinya : “diantara tanda-tanda kebesaran Allah, ialah mencinptakan kamu dari jenismu, pasangan-pasanganmu supaya cenderunglah hatimu kepadanya dan Allah menjadikan dintara kamu kasih mesra dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang memikiri keindahan perbuatan Allah”. Dalam surat Ar-rum pun terlihat jelas kenapa Allah memerintahkan kepada manusia untuk menikah, diantaranya agar manusia bisa saling menyayangi antara kaum pria dan kaum wanita.

C. Nikah yang Diharamkan
Ada tiga bentuk nikah yang diharamkan (tidak sah), yaitu :
1. Nikah Syighar, yaitu seorang wali mengawinkan putrinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-laki tersebut mengawinkan putrinya kepadanya dengan tanpa bayar mahar. Rasul ber sabda : “tidak ada syighar dalam islam”. Dan juga “dari Ibnu Umar katanya. Rasulullah melarang kawin syighar”.
Berdasarkan hadits tersebut jumhur ulama berpendapat bahwa kawin syighar itu pada pokoknya tidak diakui, karena itu hukumnya batal. Para ulama berbeda pendapat tenyang illat dilarangnya nikah syighar ini.
a. Ada yang berpendapat karena sifatnya masih menggantungkan atau memaukufkan, seolah-olah yang satu berkata kepada yanglain, tidaklah saudara dapat menjadi suami anakku sebelum anak saudara jadi isteriku.
b. Ada pula yang berpendapat bahwa sebabnya itu karena menjaadikan kelamin sebagai hak bersama dimana kelamin masing-masing dijadikan mahar terhadap lainnya.
Sesungguhnya nikah syighar ini adalah salah satu dari bentuk nikah yang terjadi pada zaman jahiliyah, dimana hubungan kelamin antara pria dan wanita dapat seolah-olah diperjualbelikan atau dilaksanakan pertukaran.
2. Nikah Mut’ah, atau biasa disebut dengan nikah sementara. Para ulama madzhab sepakat mengatakan bahwa hukum nikah mut’ah ini adalah haram, danoleh karen itu nikahnya batal. Alasan mereka bahwa hukumnya batal, yaitu :
a. Nikah ini tidak sesuai denga apa yang dimaksud nikah dalam Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan adanya masalah talak, iddah dan masalah warisan.
b. Nikah mut’ah adalah nikah sekedar melepaskan nafsu syahwat buka untuk mendapatkan anak dan memelihara anak-anak itu.
3. Nikah Tahlil, Ibn Rusyd mendefinisikan yaitu seorang laki-laki mengawini seorang wanita dengan tujuan agar wanita yang telah bertalak tiga dari suami pertama dapat nikah kembali kepada suamimya yang pertama itu.
Ada beberapa kelompok ulama yang menetapkan hukum nikah tahlil, yaitu :
a. Pendapat Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abdullah Ibnu Umar, menyatakan bahwa nikah tahlil ini hukumnya tidak sah termasuk perbuatan dosa besar dan munkar serta diharamkan oleh Allah.
b. Pemdapat Imam Ibnu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i, mengatakan bahwa nikah ini sah karena tidak disyaratkan dalam akad nikah itu bahwa nikah tersebut adalah agar suaminya yang pertama dapat kembali kepada wanita itu.









BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Nikah menjadi wajib atas orang yang sudah mampu dan ia khawatir terjerumus pada perbuatan zina. Sebab zina haram hukumnya, demikian pula hal yang bisa mengantarkannya kepada perzinaan serta hal-hal yang menjadi pendahulu perzinaan (misalnya; pacaran, pent.). Maka, barangsiapa yang merasa mengkhawatirkan dirinya terjerumus pada perbuatan zina ini, maka ia wajib sekuat mungkin mengendalikan nafsunya. Manakala ia tidak mampu mengendalikan nafsunya, kecuali dengan jalan nikah, maka ia wajib melaksanakannya.
Barangsiapa yang belum mampu menikah, namun ia ingin sekali melangsungkan akad nikah, maka ia harus rajin mengerjakan puasa, hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Mas'ud bahwa Nabi saw. pernah bersabda kepada kami, "Wahai para muda barangsiapa yang telah mampu menikah di antara kalian, maka menikahlah, karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi kemaluan: dan barangsiapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa; karena sesungguhnya puasa sebagai tameng."

Kini jelas sudah mengapa kita sebagai seorang muslim dan muslimah dianjurkan untuk menikah oleh Allah SWT. Untuk itu bagi yang sudah merasa berkewajiban untuk menikah, janganlah merasa bingung dengan beban yang akan ditanggung setelah menikah nanti karena seperti yang telah di jelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwasannya Allah akan memudahkan segala kesulitan hambaNya dan memberi kenikmatan arau rahmat yang lebih kepada hambaNya dengan jalan pernikahan.

B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, namun kami berharap para pembaca sekalian bisa mengambil manfaat dari makalah ini. Dan untuk menyempurnakan makalah ini kami sangat mengharapkan koreksi yang bersifat membangun.

1 komentar: